- uptdsmpn1datuk50@gmail.com

Jakarta, Kemendikbud --- Ketua Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia sekaligus akademisi Universitas Pendidikan Indonesia, Dinn Wahyudin menyatakan, bahwa filosofi Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbud pada dasarnya membawa semangat fleksibilitas yang tinggi. Hal ini dilihat karena Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang mengupayakan Merdeka Belajar atau Freedom of Learning.
 
“Artinya, agar guru-guru juga punya otonomi mengelola ruang kelas mereka masing-masing. Di pendidikan tinggi, sekarang dikenal Kampus Merdeka. Jadi, konsep ini diharapkan memerdekakan lembaga pendidikan dan menyediakan solusi untuk peserta didik menjadi lebih kreatif dan inovatif,” tutur Dinn dalam seminar digital bertaraf internasional bertajuk “International Seminar on Curriculum” secara daring, Selasa (15/12).
 
Dinn Wahyudin yakin, jika guru-guru bebas menentukan metode belajar yang mereka pandang paling cocok, maka mereka dapat menghasilkan inovasi-inovasi yang unik dan spesifik. “Merdeka belajar ini membuka kunci potensi penuh dari guru dan siswa untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri,” jelasnya.
 
Konsep self-regulated learning (mengatur diri sendiri belajar mandiri), diterangkan Dinn, memang memberi ruang bagi peserta didik belajar sesuai kecepatannya sendiri, di mana guru berperan sebagai fasilitator dan bukan sumber utama.
 
“Anak-anak diberi keleluasaan belajar dan diskusi dengan irama mereka sendiri. Ini salah satu bagian dari Merdeka Belajar. Guru-guru membantu anak-anak belajar sesuai proses yang benar, karena tiap anak unik,” kata Dinn.
 
Akan tetapi, ia mengingatkan agar para guru tetap mengelola ruang kelas dengan baik sehingga anak-anak bisa berkembang sesuai jalur. Seperti pendidikan Ki Hajar Dewantara, kata dia, siswa harus diberi kebebasan berpikir. Biasakanlah mereka mencari pengetahuan dengan menggunakan pemikiran mereka sendiri. Inilah fleksibilitas dalam belajar,” lanjut Dinn.
 
Dinn Wahyudin juga mengapresiasi kebijakan Guru Penggerak yang telah digagas Kemendikbud, karena baginya, inilah inovasi nyata Kemendikbud di mana guru diberi ruang berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan siswa berkreasi dan berinovasi sehingga pembelajaran dapat berlangsung dengan menyenangkan.
 
Kualitas guru memang selalu menjadi sorotan. Profesor dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengakui, tantangan kurikulum nasional secara internal adalah utamanya kualitas guru, baru kemudian disusul pelatihan guru, sarana dan prasarana pembelajaran, masih adanya inkonsistensi penerapan kebijakan, dan tidak pastinya murid yang ditarget. Sementara, tantangan eksternalnya adalah globalisasi dan internasionalisasi.
 
“Indonesia punya keragaman sosial dan kultural di mana kemampuan dan kapasitas pemerintah lokal dalam menghadapi perspektif nasional dan kebutuhan bervariasi. Di sisi lain, globalisasi menuntut kita merumuskan visi baru untuk mengembangkan kurikulum nasional supaya bangsa kita bisa berkompetisi secara internasional,” jelas Said.
 
Globalisasi, kata Said, juga telah menyebabkan bangsa-bangsa makin menguatkan identitas nasional masing-masing. Kompetensi seperti yang dipromosikan PISA juga mewajibkan Indonesia makin memahami kultur lokal, nasional, dan global.
 
“Harus ada penyesuaian untuk membuat kurikulum nasional lebih efisien dan efektif, untuk menyiapkan generasi baru, untuk dimensi-dimensi kehidupan global, nasional, dan lokal. Standar-standar internasional untuk area-area pembelajaran yang universal dan tidak merugikan dentitas nasional seperti Bahasa Inggris dan literasi digital sangatlah penting,” jelas Said. Ia juga menekankan, perlunya studi-studi regional untuk meningkatkan pemahaman internasional dan kolaborasi. (Lidya/Denty A./Aline R.)